Bupati Hery Nabit mengapresiasi penyelenggaraan ritus adat tersebut. “Terima kasih untuk acara yang luar biasa pada hari ini. Ini sekaligus menjadi pelajaran untuk generasi muda tentang leluhur kita,” ungkapnya.
Rampas Papang, seperti juga rampas/perang melawan kolonial Belanda di Manggarai, menurut Bupati Hery Nabit merupakan bukti bahwa leluhur Manggarai turut berperang melawan Belanda dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Bahwa kita (Manggarai) menjadi bagian dari NKRI ini bukan secara tiba-tiba atau gratis. Leluhur kita ikut berperang. Dan karenanya, kita juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam derap pembangunan bangsa ini,” papar Bupati Manggarai.
Ditambahkannya, pembangunan dan bantuan pemerintah yang diperoleh masyarakat selama ini merupakan contoh nyata hasil perjuangan para pendahulu daerah ini.
“Tidak gratis dia. Ada darah yang tumpah. Itulah kenapa kami (jajaran Pemkab Manggarai) hadir hari ini. Untuk mengingatkan kita semua tentang pentingnya perjuangan leluhur kita melawan penjajah,” tegasnya. Karena itu dirinya meminta agar generasi muda menjadikan peristiwa sejarah tersebut sebagai pelajaran hidup tentang pentingnya usaha dan kerja keras.
Ajakan untuk belajar dari peristiwa sejarah juga disampaikan oleh Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh. Dirinya juga berharap agar peristiwa-peristiwa tersebut dibukukan sehingga bisa lekang dalam ingatan masyarakat Manggarai.
“Harus ada yang mau menulis agar tidak kehilangan akar. Momen ini penting bagi kita untuk dijadikan pijakan bersama dalam memajukan Manggarai,” ungkap Kapolres Manggarai yang juga mengapresiasi kearifan lokal Manggarai seperti yang dilihatnya dalam acara Paka Di’a tersebut sebagai sesuatu yang sangat bijak.
Sementara itu, tentang kuburan leluhur korban Rampas Papang yang akhirnya berhasil ditemukan melalui petunjuk supranatural, Bupati Hery Nabit berharap agar upaya yang sama, jika dapat, juga dilakukan terhadap korban perang dari pihak kolonial Belanda.
“Tidak memaksa. Tetapi kalau boleh, itu juga dicari. Kalau ditemukan (melalui petunjuk supranatural), kita buat kuburnya juga secara layak seperti para leluhur dari pihak kita. Kita doakan mereka juga,” ungkapnya.
RD Inosentius Sutam pada kesempatan tersebut memaparkan sejarah Rampas Papang yang diperolehnya dari berbagai rujukan, termasuk wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat Papang yang mengetahui informasi seputar peristiwa lebih dari seabad silam itu.
“Ini akan kita lengkapi lagi, cross check lagi, termasuk cerita dari kawasan sekitar yang juga mengetahui peristiwa itu. Yang pasti Rampas Papang adalah terjadi karena leluhur masyarakat Papang menolak perlakuan tidak adil dan tindakan sewenang-wenang dari Belanda waktu itu,” paparnya.
Salah satu pemicu utama, menurutnya, adalah penolakan Gelarang Adak Gendang Papang atas perintah Belanda mengumpulkan kayu dan alang-alang untuk rencana pembangunan kantor mereka di Todo. Gelarang Adak Gendang Papang kala itu berpegang pada pendirian hanya akan melaksanakan perintah Adak Todo – Pongkor dan bukan kolonial Belanda.