“Merujuk pada alasan Pemkab Manggarai yang menyatakan hendak melakukan pengamanan aset milik daerah, maka keterlibatan institusi hukum dalam hal ini Kejaksaan Negeri juga sangat penting,” jelas Arifin.
Namun faktanya, tak satu pun aparat keamanan yang ada di lokasi sehingga terjadilah keributan antara keluarga Manasa, Herdin dengan Satpol PP.
Akibat tindakan represif yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut, empat orang warga masyarakat menderita luka akibat pemukulan, ditambah dengan penggusuran pilar di lahan seluas 30.000 m2 milik milik Arifin Manasa yang tentunya juga mengakibatkan kerugian di pihak Arifin.
Terkait penelurusan, pengamanan, pemeliharaan, perampasan dan pengembalian aset, terang Arifin, sejatinya diatur dalam Pasal 7 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: Per- 013/A/JA/06/ 2014, mengenai pemeliharaan aset.
Tetapi lagi-lagi, hal itu sama sekali tidak ditemukan selama pelaksanaan pembongkaran.
Represifitas dan arogansi Pemkab Manggarai terlihat melalui penolakan upaya dialog dan diskusi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Hal ini didasarkan pada ucapan Wakil Bupati Manggarai pada pertemuan Jumat, 27 Mei 2022, yang berjanji akan kembali mengadakan pertemuan guna mendiskusikan persoalan tersebut.
Adapun poin-poin pengaduan Arifin Manasa ke Komnas HAM memuat kronologi pembongkaran oleh Pemda Manggarai. Arifin Manasa juga membeberkan riwayat tanah miliknya di Nanga Banda yang merupakan warisan dari sang kakek.
“Kakek saya, almarhum Abdurrahman ketika masih hidup memiliki tanah kering seluas kurang lebih 3 hektare yang berlokasi di Persawahan Due dengan batas-batas sebagai berikut: Utara: Pali/sawah garam, Timur: Nanga Banda, Selatan: Tanah SVD Keuskupan Ruteng di Reo, Barat: Pali/sawah garam,” terang Arifin.
Diriwayatkan Arifin, perkawinan Abdurrahman dan Bariah melahirkan anak tunggal perempuan bernama Hajijah.
Ketika Abdurrahman meninggal dunia tahun 1940 disusul Bariah yang meninggal tahun 1942, maka sebagai anak tunggal, Hajijah dengan sendirinya menjadi satu-satunya ahli waris.
Setelah dewasa, ulas Arifin, Hajijah kawin dengan Muhammad Saleh Daeng Manasa. Dari perkawinan Muhammad Saleh Daeng Manasa dengan Hajijah, mereka memiliki keturunan atau anak kandung sejumlah 4 orang, masing-masing: Marwiah Manasa (perempuan), Syarifudin Manasa (laki-laki), Marlia Manasa (perempuan) dan Zainal Arifin Manasa (laki-laki).
Semasa hidupnya, Muhammad Saleh Daeng Manasa dan Hajijah mengerjakan tanah warisan dari orang tua mereka dengan aman tanpa ada gangguan dari pihak mana pun.
Dasar klaim kepemilikan, jelas Arifin, terjadi setelah Muhammad Saleh Daeng Manasa meninggal dunia pada tahun 1972, disusul Hajijah yang wafat pada tahun 1975, pengerjaan dan penjagaan atas tanah Daeng Manasa kemudian dilanjutkan oleh Zainal Arifin Manasa sampai dengan sekarang.