Sementara potensi sumber pakan seperti batang pisang sangat berlimpah, namun tanpa sentuhan teknologi, sekalipun teknologi pengolahannya yang sederhana. Tidak hanya batang pisang, potensi pakan lainnya juga tersedia begitu banyak.
Di lain sisi, pakan ternak hasil pengolahan industri, dijual dengan harga yang melejit. Tentu masyarakat tidak menjangkaunya.
Inovasi Peternak di Bali
Ada kesamaan warga di Provinsi Bali dan NTT, khususnya warga Manggarai Raya yaitu sama-sama bisa memelihara babi dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan keluarga.
Dikutip dari kanalbali.id edisi 4 Februari 2023, peternak babi di Bali sempat mengalami guncangan dahsyat pada saat virus African Swine Fever (ASF) melanda. Kondisi ini membuat sejumlah peternak berusaha mencari terobosan.
Seperti yang dilakukan anggota Kelompok Tani Ternak Panca Sedati, Desa Luwus, Baturiti, Tabanan, Bali. Sejak tahun 2020 silam mereka mengolah pakan organik sendiri dan terbukti menekan angka kematian babi akibat virus.
“Mulainya dua tahun teraKhir ini kita berinovasi. Karena sebelumnya kondisi di Luwus sama dengan desa lain, banyak babi yang mati karena ASF,” kata anggota Kelompok Wayah Berati saat ditemui belum lama ini.
Dituturkan Berati, hantaman bagi peternak di awal tahun 2020 tidak hanya akibat ASF. tapi Covid-19 yang melanda dunia membuat pasar menjadi lesu. Permintaan pasar menurun drastis, sedangkan di sisi lain peternak harus terus membeli pakan agar ternak tetap hidup. Untuk satu ekor babi, minimal mengeluarkan biaya Rp 2-2,4 juta.
Sedangkan harga panen, berada pada kisaran Rp 4-4,5 juta, dengan masa pelihara 5 bulan. Alih-alih untung, malah buntung yang diraih.
Sementara di Manggarai Raya, untuk umur pemeliharaan babi selama lima bulan, harganya per ekor babi paling tinggi Rp 4-5 juta. Itupun tergantung beratnya.
Masih cerita dari provinsi Bali. Jika dilihat dari biaya produksi termsuk harga pejabat ternak hasil pengolahan, dan harga jual babi, tentu sangat rugi.