Kesannya, prosesi yang berlangsung pada hari Jumat Agung pagi di Kota Ruteng itu, situasinya sama seperti Kota Yerusalem saat Yesus disalibkan.
Banyak yang menantikan moment religius ini dan akan menjadi momen yang indah untuk dikenangkan bahkan bakal menjadi tradisi baru gereja Katolik lokal.
Umat Katolik terlarut dalam situasi tersebut dan uniknya, warga non Katolik ikutserta menjaga prosesi tersebut, seperti yang dilakukan oleh pelajar muslim dari Madrasah Aliyah Negeri 2 Manggarai di Kota Ruteng.
Kesan menjadi Kota religius Katolik namun penuh toleransi menjadi keunikan tersendiri bagi kota kecil dengan berbagai julukan seperti kota terdingin di Indonesia, kota dengan sebutan Bandung van Flores, dan lain-lain sebutan.
Berdasarkan kesepakatan tujuh pastor paroki di Kota Ruteng pada 23 Maret lalu, perayaan mengenang kematian Yesus Kristus disebut sebagai Jumat Agung Hening, dimana sejak pukul 06.00-18.00 Wita, segala aktivitas umum ditiadakan.
Kisah kolosal seperti ini memang pernah terjadi sampai era tahun 1980-an, dimana setiap bulan Mei dan Oktober seluruh umat Katolik melaksanakan misa di Golo Curu.
Golo Curu, sebuah bukit kecil di utara kota Ruteng, letaknya tidak begitu jauh dari landasan pacu Bandara Frans Sales Lega.
Golo Curu tempat bertakhta patung Bunda Maria dimana pada setiap pembukaan atau penutupan bulan Maria yaitu Mei dan Oktober, selalu dilaksanakan perayaan Ekaristi.
Ribuan umat Katolik di Kota Ruteng berjalan kaki ke Golo Curu.
Bagi yang berusia di atas 50-an tahun, Golo Curu bukanlah tempat asing dalam kaitannya dengan devosi kepada Bunda Maria yang merupakan Ibunda Sang Juru Selamat yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Kisah jalan salib kolosal seperti yang selalu terjadi pada Jumat Agung membuat kota Ruteng sebagai kota religius, damai dan toleran.
Semoga Ruteng menjadi kota yang membawa berkah bagi kita semua. (aka)
Subscribe to my channel
