“Omzet penjualan parang kami terus meningkat karena banyak orang yang datang ke tempat pembuatan kami,” ucapnya.
Peningkatan signifikan tersebut belum pernah dirasakan Stefanus sebelumnya. Jauh sebelum PLN turun tangan, Stefanus bercerita kalau warga mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas perekonomian sehari-hari, terutama ketika menjual hasil tani, yang menjadi komoditas wilayah tersebut. Jalan becek dan berlumpur menjadi tantangan sehari-hari.
“Kalau mau jual hasil tani, harus pakai pikul sepanjang 1 kilometer lebih,” katanya.
Rusaknya jalan, kata Stefanus, semakin terasa menyiksa ketika warga hendak membangun rumah. Akses jalan yang tak bisa dilintasi kendaraan memaksa warga memikul sendiri bahan-bahan bangunannya.
“Sekarang sudah diaspal. Kalau mau jalan saat musim hujan atau di malam hari, kami sudah tidak perlu pikir lagi. Sudah aman,” ujar Stefanus.