Setelah beberapa tahun lamanya, sambung Majid Har, Belanda akhirnya pulang dan menyerahkan tanah Nanga Banda ke Dalu Muhamad Yusuf Marola untuk dijaga dan diawasi.
“Jadi Belanda serahkan tanah itu ke Dalu Marola untuk dijaga dan diawasi, bukan untuk mengklaim ini milik saya, ini milik kamu atau ini milik merek,” ungkap Majid Har.
“Dengan demikian tanah Nanga Banda bukan tanah terlantar. Tanah itu adalah tanah bekas penjajahan Belanda yang wajib hukumnya harus kembali ke Indonesia untuk dijaga dan diawasi oleh pemerintah setempat,” tekan tokoh 70 tahun itu.
Lebih lanjut pria yang ber-puterakan Pol Airud ini menjelaskan, pada tahun 1989 silam, Dalu Muhamad Yusuf Marola bersama unsur Muspika dan tokoh-tokoh masyarakat menunjukan batas-batas tanah Nanga Banda.
Batas-batasnya, yakni utara dengan kuburan Islam, selatan baratnya dengan tanah Usman Daeng Pasala, kemudian selatan timurnya dengan lorong Suyono bagian utara dan selatannya dengan landasan pesawat.
Kemudian, batas timurnya dengan kuburan muslim, baratnya tambak garam milik Abdul Karim M Saleh terus ke utara selokan besar yang digali.
Saat itu, tutur Majid Har, sejumlah oknum yang pada waktu itu mengklaim memilki lahan disana akhirnya mau mengakui dan menyerahkan kembali aset pemerintah melalui camat. Waktu itu camat pak Maksimus Mansur.